“PAK BESUT DARI BOROBUDUR” (MJA NASHIR)


 “PAK BESUT DARI BOROBUDUR” 


               Malam ini, 28 Juni 2021 aku terdiam cukup lama usai baca pesan WA dari sahabatku Toni. Kabar duka yang menjadi duka cita kami bersama. Juga duka cita segenap teman SMP Negeri 1 Batang angkatan kami. Salah seorang guru kami, Pak Besut, telah berpulang hari ini. 

               Kulacak WA grup SMP untuk mendapat info lebih jauh tentang sakitnya apa. Kutelpon sahabatku Handy Hakim lantaran dari WA grup tertera info bahwa almarhum sempat mengkontaknya belum lama. “Ya, sekitar semingguan lalu Pak Besut telpon, minta tolong untuk diuruskan surat kematian istrinya. Oh ya, beliau kan sudah setahunan ini pulang kampung setelah pensiun, kembali ke kampungnya Borodubur.” Demikian info dari Handy Hakim yang mantan Camat Batang ini. Via WA Toni mengirim informasi tambahan padaku bahwa beliau telah lama sakit diabetes. Dan yang jelas, meninggalnya beliau ini menghunjam hatiku. 

               “Inna lillahi wa inna ilahi rojiun. Pak Besut, semoga bapak kini istirahat damai setelah pulang kampung, di kampung tempat bapak lahir dan tempat bapak kembali pulang kepada Nya. Saya yakin bapak orang mulia dan baik. Maafkan saya, muridmu ini yang belum sempat menjumpaimu kembali sejak masa SMP. Padahal sempat saya niatkan ini semenjak berjumpa kembali dengan Toni beberapa waktu lalu, setelah kita semua tiga puluhan tahun terpisah atas kehidupan kita masing-masing. Saya berdoa semoga bapak khusnul khotimah dan mendapat dari Nya jannah” demikian dari hatiku.

***

Awal Petualangan

               Saat itu, sekitar 1988, ketika diriku masih kelas 2 SMP ada seorang guru baru untuk mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial. Beliau muncul di ruang kelas memperkenalkan diri sebagai ‘Pak Besut dari Borobudur’. Membuatku sangat tertarik. Pertama karena nama candi itu. Candi terbesar di Pulau Jawa. Nama candi yang ketika beliau ucapkan dan ceritakan tiba-tiba rasanya aku ingin bisa ke sana. Tentu juga dari sosok beliau yang unik, pun demikian namanya. Namanya sederhana, tapi tajam dan mulia maknanya. Besut dalam Bahasa Jawa berarti mengasah logam atau memperhalus supaya baik. Beliau seorang guru yang tak banyak kata tapi ketika berkata tepat takarannya. Mudah dicerna dan menarik. Secara postur, seingatku waktu itu, beliau agak kecil dan agak kurus, bukan orang yang gede dhuwur (tinggi besar). Namun auranya hangat, membuat murid-murid cepat akrab dan dekat. Meski telah jadi guru, beliau tetap merasa sejatinya adalah orang desa, sederhana. Beliau jujur atas kesederhanaannya. “Di Candi Borobudur itu saya hanyalah seorang kusir andong”. Demikian kata-katanya, menancap di ingatanku.

               Kata-kata yang lantas menggerakkanku menyusun suatu rencana. Rencana yang musti kutunaikan bersama teman-teman yang tertarik untuk terlibat di dalamnya. Ya suatu perjalanan yang lumayan jauh. Dan jelas berbau petualangan. Inilah perjalanan pertama petualangan dalam hidupku dalam usia yang masih amat muda. Memang dari SD, sejak melahap berbagai buku dan komik petualangan dari karya Enid Blyton hingga Ganesh TH, gelora petualangan telah berkibar dalam jiwaku. Tiap liburan sekolah pasti menjelajah desa-desa. Kadang bersama orang-orang dekat atau famili. Di lain waktu bersama teman-teman SD, didahului rapat perencanaan, selanjutnya pelaksanaan, seperti jalan kaki mengikuti rel kereta api, menembus hutan dan sebagainya. Selalu tiap petualangan kudasarkan pada persiapan matang hasil menyelami karya-karya Enid Blyton. Namun juga tetap terbuka pada segala kemungkinan tak terduga sebagaimana Si Buta dari Gua Hantu dalam petualangannya. Jika di masa SD masih sebatas area kampung halaman dan sekitarnya, di saat SMP tersebut dengan tujuan ke tempat yang jauh. Ada satu hal yang membuatku yakin dan aman melakukan perjalanan jauh dari kampung halaman, yaitu sebuah peta lipat, peta Pulau Jawa pemberian ayahku. Masa itu amat berbeda dengan masa kini di mana segalanya cederung teramat gampang. Berada di mana dan mau ke mana, kini semua tertera di menu handphone kita. Peta lipatku saat itu temasuk peta yang detail. Menginformasikan banyak nama tempat serta menandai ukuran kilometernya. Jalan-jalan kecil terpetakan dengan baik. Barangkali ini juga yang membuat teman-teman merasa yakin untuk terlibat perjalanan nekad ini usai kami merapatkannya dengan matang. Ya, rencana petualangan kami itu memang lumayan berat untuk orang muda seusia kami, apalagi jelas belum tentu orang tua mau mengizinkan dan ‘tega’ membiarkan anaknya berada dalam perjalanan jauh macam ini. Apalagi untuk memberi uang saku yang cukup untuk perjalanan ini. Pendeknya, kami pun masing-masing sebenarnya agak merahasiakan rencana petualangan di hadapan orang tua kami. Jelas kami tidak akan naik angkutan umum sampai ke tujuan kami. Tentu uang kami tak akan pernah cukup untuk hal itu. Kami juga bukan anak-anak orang kaya bukan pula anak-anak jalanan yang papa. Tapi kami ingin sedikit merdeka. 

Bertemu Guru

               Hari itu, aku, Toni, Seno, Agus Riyadi dan Wasduri telah siap. Di antara mereka ini secara fisik aku yang paling kecil dan cenderung pendiam. Seno badannya lebih tinggi dariku, begitu juga Agus dan Wasduri. Seno anak yang ramah, kocak dan banyak bicara sehingga sering menghidupkan suasana. Wasduri sosok yang tak banyak kata namun fisiknya kuat. Agus agak bengal tapi asyik, apalagi jago musik di antara kami semua. Tapi aku lupa apakah saat itu dia bawa gitar atau tidaknya. Tony anak yang badannya tinggi besar, tubuhnya liat dan kuat. Dia atletis, setia pada olahraga dan sosok yang tampak lebih dewasa meskipun secara umur kami semua sebaya. Oh ya, ada satu lagi yang turut serta, seorang kakak kelas, Antong namanya. Dia muncul tampak dengan bangga mengenakan jaket marinir, juga tasnya. “Aku pinjam dari tetanggaku itu. Nggak tahu lagi sekarang tas itu di mana”, ujar Antong ketika kukontak via handphone untuk memastikan kembali ingatanku dalam menuliskan kisah ini. Aku cukup lama mengenal dan akrab dengan Antong ini karena dia juga sahabat abangku yang sering mengajakku dolan ke rumahnya. Kebetulan juga ia tetangga satu kampung dengan Seno. Sehingga mudah ditebak rencana petualangan inipun ‘bocor’ padanya dan dia tertarik ikut serta. Tapi aku senang, dia sosok unik, humoris, dibalik tubuhnya yang tinggi tapi kurus itu. Pastilah dia yang lebih dewasa dari kami semua. Jika bersamanya, ku sering membayangkan dialah sosok Barney (Barnabas) dalam karya Enid Blyton seri 'Komplotan" (The Barney Mysteries), si anak ajaib gipsy yang hidup sebatang kara dengan monyet kesayanganya Miranda dan bekerja di sirkus. Kemunculannya selalu tak terduga di tengah sahabat-sahabatnya. Dialah sang pelindung bagi mereka. Kurasa demikian juga Antong di petualangan kami ini yang tak kalah uniknya. 

               Dari stasiun Batang, kami memulai petualangan dengan ‘sepur gerbong’ atau kereta api barang. Dengan kereta api ini kami tak perlu bayar tiket. Toh ini kereta untuk barang bukan untuk penumpang atau orang. Jadi kami bisa mengirit uang. Juga meringkas waktu berjarak tempuh 100 km ke kota Semarang.  Sebenarnya bisa pula naik kereta penumpang, KRD, tanpa harus beli tiket dan kami menguasai ‘trik’nya. Jika ada pemeriksaan tiket bisa menyelinap dan bersembunyi di toilet. Tapi kami sadar dengan jumlah tim ini. Untuk satu dua orang masih aman, tapi berenam terlalu riskan. Itulah kami merasa lebih aman dan nyaman melompat naik ke gerbong kereta barang yang pintunya terbuka dan kosong. Kereta bergerak bergerak cepat. Kadang bila bosan di dalam, kami naik ke atas gerbong sembari menyaksikan pemandangan luas. Segalanya tampak berkelebat. Rambut terhempas angin, Kereta dan waktu sama-sama terus melaju sampai akhirnya kami melompat turun di stasiun Semarang.

               “Di Semarang kita menginap di Baiturahman, masjid raya di Simpang Lima,” ujar Antong bersemangat yang suaranya masih kudengar dari handphone-ku. 

               Esoknya dari Semarang, sesuai rencana, kami melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki mengikuti peta lipatku. “Aku masih ingat ini,” ujar Seno yang juga kuhubungi lewat handphone, “waktu itu Antong meledek, ‘mau naik bus? Kayak punya uang banyak saja!’”

               Tiba di kota Ungaran saat berjalan melintasi sebuah kantor militer, seorang tentara berjaga dengan senapannya, meneriaki kami untuk berhenti. Memerintahkan Antong untuk membuka jaketnya. “Juga kepadaku untuk mencopot kaos doreng bertuliskan ‘Diklat Praja’ yang kupakai waktu itu,” tambah Toni mengenang kembali peristiwa ini via WA di tengah aku menuliskan petualangan kami ini. Dengan terpaksa Antong dan Toni menyerahkan jaket dan kaosnya ke tentara penjaga. Tentu kami tidak bisa menolak. Apalah daya kami. Kurasa kemungkinan kami masih bisa memintanya kembali seandainya kami tak segan melaporkan ini pada saudaranya Toni yang juga anggota militer. Mengingat malam itu kami menginap di asrama militer saudaranya Toni. Tapi kami biarkan yang telah berlalu biarlah berlalu. Masih banyak hal yang akan kami lalui. Perjalanan masih panjang. 

               Malam itu kami sempat berjalan-jalan menyusuri suasana kota. Di Ungaran yang dingin ini aku merasakan kota yang militeristik dan warisan era kolonial abad 18 berpadu jadi satu. Bangunan-bangunan kuno itu kami nikmati dan susuri. Kadang kami agak lama berdiri di depan bangunan kuno VOC hanya untuk saling beradu cepat membaca tahunnya yang tertulis dengan angka Romawi panjang dan terelief besar itu. Dari tiap angka romawi, di depan atau di atasnya, sering kami mendapati kata “Anno” yang akhirnya kami tebak artinya tahun.        

              Dari Ungaran pagi-pagi kami melanjutkan jalan kaki melewati jalan raya utama provinsi. Berhenti di Bawen, di hadapan sebuah pertigaan jalan. Bersama kami menyimak peta untuk menentukan pilihan antara kanan dan kiri. Kanan sesungguhnya jalan utama ke arah Borobudur melewati Ambarawa dan Magelang. Tapi peta juga menunjukkan tempat-tempat menarik di arah kiri yang akhirnya menjadi keputusan bersama. Apalagi kiri menunjukkan jarak terdekat ke telaga yang masyhur, Rawa Pening. Telaga ini tampak jelas dari jalan raya yang kami lintasi, sejenak kami menikmati.  Selanjutnya bergerak menuju Kertosuro via Salatiga-Ampel-Boyolali. Sejak dari Rawa Pening kami tidak sepenuhnya jalan kaki. Jika terasa capek kami berusaha mencegat untuk menumpang mobil bak terbuka. Terutama di saat bosan dengan suasana jalan kaki lama tapi yang terlihat pemandangan yang kurang lebih sama. 

              Menjelang sore kami tiba di pertigaan Kertosuro setelah menyadari bahwa bak terbuka yang kami tumpangi ternyata tujuannya ke kota Solo. Sayang foto kenangan kami berlima berdiri di pertigaan Kertosuro sambil menyimak peta lipat memastikan arah ke Yogya ini telah lama rusak tak terselamatkan. Foto itu hasil kupencet self timer dari kamera analog ayahku yang kupinjam. Semua foto hasil print beserta negatif film atas perjalanan ini telah rusak dimakan lembab. Begitu juga yang disimpan teman-teman lainnya seperti Toni. Sama. Sudah pada rusak. Ya, sayang ini. Tapi ingatan kami terlalu sulit untuk dirontokkan oleh lembab dan usia. Sebagaimana kami masih ingat dari Kertosuro kami terus jalan kaki untuk mengikuti arah Yogya. Tahap di mana kami merasa capek dan berat. Dari semula masih terang lantas gelap. Dan kami belum bisa tentukan di mana akan bermalam. Sembari terus berjalan kami pasrah pada alam. 

              Nyaris mendekati kota Klaten yang semakin larut malam, seorang lelaki setengah baya membawa mobil sendirian menawari kami tumpangan. Beliau tujuannya bukan ke Yogya melainkan Kaliurang dan menyarankan kami menginap di rumahnya. Sebuah keajaiban dan kedermawanan hati di malam hari. Kami diberi tempat bermalam di rumahnya dengan selimut-selimut tebal di kaki Gunung Merapi. Paginya dihidangkan sarapan yang membuat kami kembali berseri. Beliau lantaran telah tahu tujuan utama kami akhirnya mengantar kami langsung ke pertigaan Tempel Sleman. Kami tak pernah melupakan sosok dermawan baik hati yang ternyata juga adalah Pak RT ini.

              Dari Tempel menuju Candi Borobudur kami terkadang jalan kaki terkadang menumpang doplak. Biasanya mobil terbuka macam ini tidak jauh geraknya, hanya area dekat-dekat saja. Tiap perpindahan dari satu doplak ke doplak berikutnya yang kami cegat di jalan, kami tetap sambil terus berjalan. Agar sesuai arah kami, sesuai peta lipatku serta untuk tak kehilangan waktu bila hanya menunggu. Kami tidak terlalu berharap untuk selalu dapat tumpangan. Satu-satunya harapan adalah sampai ke tujuan. Dan kami menikmati perjalanan.

              Syukur hari masih siang ketika kami sampai di pelataran Borobudur, bangunan megah leluhur. Langit biru dengan gumpalan kapas putih melatari candi batu-batu. Ya, masih kuingat selalu. Tak jauh dari kami berdiri tampak beberapa andong, kereta kuda. Kami bergerak ke yang terdekat dan menanya sang kusir apakah kenal Pak Besut. Kusir andong menunjuk ke arah andong lainnya. Segera kami menuju arah yang ditunjuk. Betapa kaget kami. Di andong itulah Pak Besut, guru kami. Beliau benar-benar seorang kusir andong. Dengan penampilan yang sama dengan kusir-kusir andong lainnya. Tapi kami bahagia bertemu dengannya di liburan sekolah ini. Di tempat menakjubkan ini, di candi megah yang baru pertama kali kami kemari. Beliau tak menyangka kami datang menemui. Apalagi dengan cara kami yang tak lazim dan nekad ini. Ketertegunan sekaligus kebahagian dan kebanggaan terpancar di matanya. Beliau tak pernah mengira sama sekali bahwa kata-kata perkenalannya di ruang kelas waktu itu, ‘Pak Besut dari Borobudur’ lah yang telah membesut kami sampai kemari. Kami menyalami beliau dengan hormat sebagaimana murid kepada guru. Pasti waktu itu bagi kami, pun beliau rasanya seperti mimpi. Setidaknya mimpi kami. Anak-anak nekad ini. Mimpi yang seketika menjadi nyata di hari itu juga. Tapi tetap bagi kami di hari ini masih seperti mimpi bahwa kami pernah mengalami peristiwa ini. 

              Usai menikmati Borobudur, Pak Besut mempersilahkan kami naik andongnya. Mengajak kami menuju rumahnya. Di atas kereta kuda yang dikemudikan beliau, ditengah suasana akrab guru dan murid ini kami merasakan merdeka sepenuh jiwa. Merdeka di alam terbuka. Menyerap segenap panorama alam desa. Sawah, kerbau, hutan, gunung, orang-orang desa dan burung-burung beterbangan di angkasa. Kami serasa di atas gelombang tembang “Tanah Airku” yang sempurna. Dan kereta kuda kami menapaki jalan yang terus mendaki.

              Sembari terus mengemudi Pak Besut pun bercerita bahwa dirinya hanyalah orang desa yang tinggal di pegunungan atas Candi Borobudur ini. Candi tempat beliau mencari nafkah sebagi kusir andong. Meskipun telah menjadi guru, beliau tetap menjalaninya di waktu senggang seperti di hari liburan sekolah ini. Beliau dengan memposisikan dirinya hanyalah orang desa sekilas beliau menempatkan kami sebagai anak-anak kota. Tapi kami mengerti bahwa itu adalah kerendahan hati dan kewaskitaannya. Apalagi dengan tetap menghidupkan gerak andongnya ini di saat yang sesungguhnya beliau telah berprofesi sebagai guru menyiratkan bahwa beliau tak pernah lupa pada asal mula. 

              Beberapa hari kami menginap di rumahnya di desa pegunungan ini. Di rumahnya yang sederhana yang seingat kami waktu itu beliau tinggal bersama ibunya. Ibu yang memasakkan kami makanan. Bersama ibu ini pula kami semua menyatu di tungku kayu  yang menyala, menghangatkan diri dari dingin hawa pegunungan. Sebuah pegunungan di mana kami di hari berikutnya dibawa guru kami ini ke tempat di pinggir hutan yang menjadi tempat kesukaan sejak masa kecilnya. Titik yang terindah untuk menikmati panorama Candi Borobudur yang tampak demikian megah terbentang nun di bawah. 

              Inilah awal petualangan dalam hidupku. Petualangan bersama sahabat-sahabat SMPku. Petualangan yang mempertemukan guru kami di desanya tercinta. Tanpa petualangan tentang ‘Pak Besut dari Borobudur’ ini barangkali aku tak kan pernah menjadi petualang yang masih terus kujalani hingga hari ini. Barangkali juga tak akan pernah sampai ke tempat-tempat yang jauh mengelilingi berbagai pedalaman Nusantara dan sebagian dari Bumi ini.  

              Pak Besut, Guru kami. Tak kan pernah kami lupa semua ini. Segenap pelajaran darimu yang berharga dan mulia telah membesut kami. Setahun lalu engkau pulang ke ke kampung halamanmu, pulang ke pegunungan dan candimu usai purna tugasmu sebagai guru. Dari kampung kelahiranmu kini, engkau pulang ke kampung halamanmu yang abadi. Selamat jalan Guru Kami. 

***

(MJA Nashir, Batang 28-29 Juni 2021)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KEMBALI KE MUSEUM BATIK, MERAYAKAN KEINDONESIAAN

CATATAN KEBUN NOMER 1 (MJA NASHIR)

MENGINGAT KEMBALI MAS HELMAN (ALMARHUM BAMBANG SOEHELMAN)