KEMBALI KE MUSEUM BATIK, MERAYAKAN KEINDONESIAAN


          Setelah 2 bulanan sejak akhir 2022 berkegiatan di luar pulau Jawa dan Yogyakarta akhirnya kami muncul kembali di Pekalongan. Kemunculan kembali – tepatnya di Museum Batik Pekalongan – ini sesungguhnya tanpa rencana. Mendadak. Spontan, begitu saja. Semula diriku akan pulang ke Batang, sedangkan antropolog Sandra Niessen masih akan melanjutkan perjalanan ke Jakarta dan untuk bisa segera sampai ke Tano Batak Sumatera Utara. Namun ada keinginan Sandra untuk bisa melihat patio belakang rumahku yang kubangun sejak pandemi Covid19 sebelum melesat ke Jakarta dan Sumatera Utara. Tiba-tiba pada malam terakhir di Yogyakarta, datang pesan dari Arief Dirhamzah (penelisik sejarah Pekalongan dan pegiat Pekalongan Heritage) masuk ke WA ku dan Sandra. Pesan dalam bentuk foto-foto itulah yang membuat kami memutuskan untuk bersama-sama menuju Pekalongan dengan kereta api Joglosemar di pagi 28 Januari 2023.


          Foto-foto yang dikirimkan via WA pada kami tampaknya mirip dengan yang termuat di pantura.tribunnews.com 27 Januari 2023 dalam berita “Museum Batik Pekalongan Display Motif Kelengan Khas Peranakan Thionghoa” dan di radarsemarang.jawapos.com 28 Januari 2023 dalam berita “Batik Kelengan Bukti Pekalongan Multikultural”. Foto-foto itu menunjukkan sebuah batik kelengan warna biru muda berlatar putih yang dipajang di museum sedang dikeker dengan kaca pembesar oleh seorang petugas. Salah satu foto


lainnya menampangkan hasil pembesaran dari sudut kain batik menerakan tulisan “Oeij Kok Sing: 8 Jan 33”. Di kiriman tersebut Arief Dirhamzah menuliskan kepada kami, “Dalam rangka Imlek, batiknya Stephanie Belfrage dipajang di ruang pamer museum”. Betapa hati kami berlompatan seketika membaca WA dari Arief Dirhamzah ini. Dan apa yang sedang terjadi di museum Batik Pekalongan saat ini ternyata berkaitan kuat dengan event kami 11 tahun silam.

          Ya kami masih ingat betul ‘sejarah’ dari kain batik ini. Apalagi karena kami; Sandra, aku dan Arief Dirhamzah ada dalam sejarah mengapa kain batik tersebut beserta 4 lembar lainnya bisa sampai di museum Batik Pekalongan. Maka izinkan aku mengisahkan kembali tentang ‘sejarah’ ini.





          11 tahun yang silam, gerakan ‘pulang kampung’ Sandra Niessen telah mempengaruhi kesadaran banyak orang di belahan bumi yang lain untuk terhubung dengan Sandra Niessen. Salah satunya adalah seorang kolektor kain di Australia, Stephanie Belfrage yang menghubungi Sandra untuk ‘mempulangkampungkan’ beberapa kain kuno koleksinya. Di antara kain itu terdapat 5 lembar kain batik Pekalongan yang salah satunya bertanda nama Oeij Kok Sing. Koleksi asal Pekalongan ini melewati Sandra Niessen akhirnya diserahterimakan ke museum Batik dengan harapan agar masyarakat secara luas bisa mengakses kain-kain kuno ini sebagai warisan budaya dari kota Pekalongan. Acara penyerahan koleksi batik Stephanie Belfrage via Sandra Niessen bertajuk “Pulang Kampung Batik” ini terjadi pada Hari Batik Nasional 2 Oktober 2012 di Museum Batik. Selain fihak museum dan pemda setempat, acara dihadiri para tokoh batik Pekalongan. (Tentang 'Pulang Kampung' bisa disimak dari video di atas). 


          Peristiwa tersebut mengingatkanku kembali akan respon sesepuh batik Pekalongan, almarhum Haji Fatchurrahman. Secara spontan di hadapan publik beliau berkata, “Apa yang dilakukan Sandra Niessen dengan Pulang Kampungnya adalah ‘jalan sufi’ yang mulia. Masih jarang orang melakukan seperti apa yang Sandra lakukan.” Hatiku berdesir mendengar apa yang diucapkan almarhum Haji Fatchurrahman ini. Kuyakin masuk ke hati banyak orang, membuka pintu-pintu kesadaran. Apa yang disampaikan almarhum, bagiku pernyataan tepat di tengah kenyataan kekinian kebanyakan orang mengumpulkan kain-kain kuno berfokus sebagai kolektor, di mana koleksinya untuk dijual lagi dan untuk memanen lonjakan harga tinggi demi keuntungan pribadi. Apa yang dilakukan Sandra dengan mengembalikan lagi kain-kain kuno ke tempat asal, agar orang-orang setempat terutama generasi sekarang bisa melihat kembali warisan budayanya, bisa mengenalinya kembali dan memiliki referensi atas kain-kain kuno dari daerahnya. 

          Kini, 11 tahun kemudian, ketika koleksi batik yang dipulangkampungkan itu dipamerkan kembali di Museum Batik Pekalongan ternyata tidak hanya menjadi magnet bagi titik fokus lensa kamera pemburu berita dan kaca pembesar petugas museum saja, tapi juga bagi keturunan Oeij Kok Sing yang datang dari Singapura. Kabar kedatangan keluarga Oeij Kok Sing sampai padaku dari Arief Dirhamzah saat kutelepon usai membaca WA darinya. Keturunan Oeij Kok Sing yang beberapa hari lalu mengunjungi museum Batik tak menyangka dan terkejut takjub mendapati batik luluhurnya ada dalam display pameran bertema “Batik Peranakan” tersebut. Dirhamzah, aku dan tentu juga Sandra merasa senang mendengar kabar ini. Kabar kain dari leluhur yang menautkan kembali dengan keturunannya. Rasa bangga berbinar di wajah keturunan Oeij Kok Sing menyaksikan karya leluhurnya, demikian kubayangkan.

          Dari kain batik Oeij Kok Sing yang telah dipulangkampungkan pemiliknya Stephanie Belfrage melewati Sandra Niessen yang kini sedang dipamerkan di Museum Batik dan kebetulan pula Sandra sedang berada di Indonesia inilah yang menggerakkan Dirhamzah denganku untuk mengacarakan kehadiran kembali Sandra Niessen di Museum Batik Pekalongan. 

          Kehadiran Sandra di Pekalongan, khususnya di Museum Batik tidaklah sekali dua kali melainkan telah berkali-kali. Sebelum peristiwa pulang kampung batik koleksi Stephanie Belfrage 2012, Sandra telah menjalin keakraban dengan masyarakat batik Pekalongan sejak 2011 saat beliau melacak jejak bersejarah tokoh pembatik Indo-Belanda, Eliza Van Zueylen. Eliza yang berpengaruh besar dalam dunia perbatikan di Pekalongan (batik buketan) yang ternyata masih satu trah dengan Sandra Niessen dimana Eliza juga bermarga Niessen (nama lengkapnya Eliza Charlotta Niessen Van Zueylen). Selain melacak jejak Eliza dan pulang kampung batik, di tahun-tahun berikutnya Sandra masih kerap datang ke Pekalongan, terutama untuk riset batiknya dengan kerajaan Thailand. 

 

        Setelah Sandra setuju ide kami, dari malam terakhir di Yogya hingga besoknya 28 Januari 2023 di perjalanan kereta api, aku dan Dirhamzah mengatur persiapan acara ‘mendadak’ ini. Bersepakat pula kami bahwa untuk acara yang kami namai “Ngobrol Bersama Sandra Niessen” ini moderatornya adalah Djudjur Toto Susilo, pengamat kritis atas banyak hal, terutama tentang Pekalongan. Siang 28 Januari 2023 poster acara yang disebut secara kelakar oleh Djudjur sebagai 'persekongkolan MJA-Dirhamzah' ini akhirnya mengudara sebelum Sandra denganku dijemput Arief Dirhamzah dan Arief Wick (Ketua Pekalongan Creative City Forum) di stasiun kereta.


          Esok paginya, 29 Januari, usai bertemu di tempat Sandra menginap, The Sidji Hotel, kami berangkat bersama menuju Museum Batik. Masih sempat kami keliling ruang museum melihat pameran Batik Peranakan yang sedang berlangsung. Sebuah pameran yang luar biasa dengan koleksi Batik Peranakan beraneka macam dan indah. Kehadiran batik Oeij Kok Sing yang menjadi bagian dari pameran ini terasa turut semakin memperkaya khasanah Batik Peranakan di Pekalongan. Dan Batik Peranakan (peranakan di sini maksudnya peranakan Thionghoa) menjadi salah satu jenis dan kekuatan dunia batik di Pekalongan. Keberadaannya semakin mempetegas bahwasanya sejak dulu hingga kini Pekalongan adalah entitas yang multikultural. Kukagum pada museum ini, dengan mengadakan pameran Batik Peranakan, rasanya selain penghormatan pada perayaan Imlek adalah sekaligus merayakan keIndonesian. Kami senang bisa kembali di museum ini. Seperti halnya di tahun-tahun silam fihak museum demikian sigap memfasilitasi acara kami. 



          Syukur di acara “Ngobrol Bareng Bersama Sandra” ini banyak generasi muda hadir selain para tokoh batik Pekalongan yang mayoritas telah akrab dengan nama Sandra. Sebagai pengantar, diriku berbicara tentang esensi dan aktivitas ‘pulang kampung’ yang diperjuangkan Sandra Niessen, terutama berkait aktivitasnya di Pekalongan selama ini. Sandra membagi informasi hasil risetnya tentang Whilhemina Frederika van Lawick van Pabst (Mancilawik) yang merupakan tokoh batik Peranakan di Yogyakarta era kolonial yang banyak karya batiknya menjadi koleksi kerajaan Thailand dan museum-museum di Belanda. Sedangkan Arief Dirhamzah berbicara tentang sejarah batik peranakan di Pekalongan era kolonial. Djudjur secara lihai dan hangat mengalirkan acara ini untuk saling berbagi dengan membuka pada yang hadir untuk bicara. Salah satunya adalah Lie Poe Hien dari Kedungwuni yang meggetarkan hati berkisah tentang suka dukanya berjuang di dunia batik. Suasana acara demikian akrab. Semua saling menyemangati agar tradisi batik tetap lestari. 

          Kutuliskan ini kembali sebagai ingatan. Mengingat atas berjalannya waktu kadang kita lupa. Sebagaimana yang kami lihat pagi itu pada label keterangan atas display batik Oeij Kok Sing yang sedang dipamerkan tampaknya kurang lengkap informasinya. Tidak ada nama Stephanie Belfrage. Padahal beliaulah yang menghibahkan koleksi batik kuno ini atas kemuliaan hatinya. Semoga oleh Museum Batik Pekalongan keterangan untuk display batik ini sudah dilengkapi. 


****

MJA Nashir (aktivis budaya), Batang 2 Februari 2023


Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENGINGAT KEMBALI MAS HELMAN (ALMARHUM BAMBANG SOEHELMAN)

SUARA BATU & PUISI - SENDRATARIMUSIKPUISI “SAELENDRA”