CATATAN KEBUN NOMER 1 (MJA NASHIR)
"Catatan Kebun Nomer 1"
Kebun di belakang rumahku ini sebenarnya hanyalah sebidang tanah tak begitu luas. Sekitar 19 x 12 langkah kakiku. Tanaman utamanya pohon nangka, mangga, jeruk purut, pepaya dan pisang Tanduk. Yang menghasilkan secara rutin yaitu jeruk purut dan pisang. Kami tidak pernah memetik jerut purut dari pohon sebab saban hari selalu ada yang berjatuhan di tanah dengan sendirinya. Tinggal memungutinya saja, kami kumpulkan ke dalam keranjang kemudian letakkan di dapur. Seringnya kami manfaatkan sebagai minuman mengingat kadar vitamin Cnya tinggi, meski secara rasa agak getir dan lebih masam dibanding jenis jeruk lainnya. Kadang kupakai untuk keramas agar kulit kepala dan rambut terasa segar dan wangi. Sering ibuku membagi-bagikannya ke tetangga, atau siapapun yang mau boleh ambil. Ibuku juga memetik daunnya untuk bumbu masakan.
Sedangkan pada pohon-pohon pisang biasanya beberapa bulan tampak ada yang matang untuk kupetik dengan cara ‘negor gedhang’ (memetik pisang dengan menumbangkan pohonnya). Mengingat hanya pohon pisanglah yang sekali tumbuh berbuah sesudah itu mati.
Setiap berada di kebun ini hatiku merasa damai. Jiwa segar dan sehat, pun badan. Apalagi di tengah badai pandemi covid19 ini. Di mana kini setiap hari selalu kudengar berita kematian ditiupkan angin lewat toa-toa mushola dari berbagai penjuru. Juga dari sirene-sirene ambulan yang wira-wiri di jalan depan rumah. Dari tingkat kematian yang tinggi menandakan bahwa yang terjangkit positif covid telah banyak di mana-mana. Termasuk di kampungku ini. Dalam situasi seperti ini, tiada lain yang utama selain perlunya menjaga tubuh kita agar tetap sehat, stamina dan imunitas tubuh agar senantiasa kuat.
Kini kebun yang tak luas ini amatlah penting bagiku. Sebagaimana pernah menjadi hal yang penting bagi almarhum ayahku di masa dulu. Tempat bagi beliau menyembuhkan diri dari derita yang menimpa tubuhnya. Ayahku pernah mengalami kecelakaan lalu lintas, di depan pasar di kota kecil pegunungan ketika sedang menyebrang jalan tiba-tiba sepeda motor melesat cepat dikendarai lelaki yang mabuk minuman keras menabraknya. Ayah terpelanting dan terjerembab di pinggiran jalan. Dilarikan ke rumah sakit dan tak sadarkan diri selama beberapa hari. Sejak itu, selama beberapa tahun motorik tubuh ayahku terganggu. Aku masih ingat saat beliau mau minum, mengambil gelas di meja dengan tangannya, kuamati gerakannya demikian slow motion. Di situasi yang seperti itu ayahku masih bisa bercanda dengan stylenya yang cool, tampak serius namun adalah canda yang mengutamakan logika. Saat itu pula aku bersyukur bahwa fikirannya tetap jalan baik dan tajam. Semenjak sekeluarga pindah ke rumah ini dari tempat tinggal sebelumnya di tengah kota, ayahku banyak menyibukkan diri di kebun ini. Menanam berbagai tanaman, terutama pohon-pohon pisang yang keturunannya masih terus beranak pinak ini. Ya, kebun inilah yang telah menyembuhkan ayahku, menormalkan kembali motorik tubuhnya. Sejatinya ayahku seorang petani yang hidup dari tanah dan tanaman. Meskipun ketika telah berkeluarga juga sempat berprofesi sebagai pedagang dan kontraktor. Di tengah dunia kerjanya sebagai kontraktor itu ayahku mengalami kecalakaan tadi. Selanjutnya menyembuhkan dirinya kembali sepenuhnya lewat aktivitas bercocok tanam dan mengolah tanah di kebun ini. Kebun ini pula kini menjadi tempat bagiku untuk tetap sehat sembari merawat segala legacy darinya dan segala ingatan yang telah ditinggalkannya di atas tanah ini.
Di kebun ini aku selalu teringat bagaimana ayahku meski seorang diri dalam umur yang sudah tua tanpa bantuan siapa-siapa bisa memetik buah-buah nangka yang telah matang yang letaknya tinggi sekali tanpa harus menjatuhkan buah-buah itu ke tanah. “Gunakan akal kita,” demikian ayah menjawab saat kutanya. Meskipun beliau memakai tali dan juga dengan memanjat pohon namun dari jawabannya aku tahu betul maksudnya. Bukan soal tali dan memanjat pohon itu poin utamanya. Point utamanya adalah pesannya padaku agar sebagai manusia senantiasa menggunakan akal fikiran dalam menghadapi persoalan. Di depan pohon nangka yang sedang berbuah banyak itu, beliau pernah bertanya padaku. “Lihat pohon nangka ini. Mana menurutmu di antara buah-buah nangka ini yang buahnya lebih enak dan lebih sehat?” Pertanyaan yang sulit kujawab saat itu. Dalam hatiku tentu sama saja mengingat semuanya dari satu pohon yang sama. Ternyata tidak begitu bagi ayahku, “Yang akan jadi paling enak ya ini,” sembari menunjuk buah nangka yang belum matang yang posisinya berada paling bawah, hanya berapa centimeter dari permukaan tanah. “Kok bisa ... kenapa?” tanyaku. “Yang paling bawah inilah yang duluan cepat dapat peredaran air dan nutrisi dari dalam tanah sebelum air dan nutrisi tanah itu beredar ke bagian-bagian lain di atasnya.” Betapa kagum aku pada ayahku terutama atas penjelasannya ini. Baginya alam adalah sesuatu yang pasti, sebagaimana ilmu alam adalah ilmu pasti. Sebagaimana juga ‘hukum alam’ yang kami sebut sebagai ‘sunatullah’ misalnya ‘air mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah’. Demikianlah alam. Demikian pula ayahku yang senantiasa menggunakan akal fikirannya dalam membaca kepastian alam. Itulah pula yang kukerjakan saat ini. Mengimplemantasikan jalan akal itu.
Sebenarnya hanya dengan menikmati secangkir kopi sembari memandangi kebun ini sudah cukup membuatku merasa senang dan happy. Toh tanaman-tanaman yang sudah ada di sini tetap akan hidup dengan sendirinya tanpa kuapa-apakan sama sekali. Dengan memandangi tanaman-tanaman saja secara intens otomatis menjadi dialog antara aku dan tanaman-tanaman itu ternyata bisa membuat mereka tumbuh segar karena mereka merasa telah disapa baik olehku sebagai manusia. Ya, dengan cukup menyapa saja mereka senang apalagi jika kita juga berbuat baik atas diri mereka. Itulah mengapa aku merasa tak puas jika hanya dengan sekedar bermalas sembari ngopi memandangi tanaman dan merasa happy itu. Tubuhku harus bergerak dan berkolaborasi dengan mereka, tanaman-tanaman ini. Mereka akan jadi lebih sehat dan aku pun akan jadi lebih sehat lagi. Demikian, semenjak masa pandemi, terutama akhir-akhir ini, aku intens bergulat dan berkeringat dengan mereka di kebun ini.
Setiap ada pohon pisang yang telah matang buahnya aku petik dengan ‘menggunakan akal’. Meski pohonnya tinggi dan aku seorang diri, aku harus bisa memetik tanpa merusakkan buahnya. Tanpa menjatuhkan atau melemparkannya ke tanah. Setiap usai memetik buah pisang, dengan parang kutebas batang pohon dari tanah tempat berdirinya semula. Selanjutnya kucangkuli sisa tubuhnya yang masih ada di tanah. Kupisahi anak-anaknya dari keterhubungan kesatuan dengan induknya semula dan dari keterhubungan rizoma satu sama lainnya. Bila ada yang terlalu rapat kupindahkan dengan menanamnya di area yang masih lengang. Ini kulakukan lantaran didorong akalku yang mempertimbangkan bahwa dengan pemisahan dan penjarakan ini masing-masing anakan pohon pisang bisa hidup sendiri-sendiri (mandiri). Sehingga peredaran air dan nutris dari dalam tanah bisa fokus ke setiap tanaman, tanpa perlu berbagi. Masing-masing punya haknya untuk hidup sendiri-sendiri. Kuyakin dengan cara ini setiap anakan pisang akan tumbuh lebih cepat, lebih merdeka dan ceria. Tiap usai panen pisang, tubuh pohon pisang (gedebog) dan yang tersisakan lainnya kucacak-cacak dengan parangku hingga kecil-kecil. Akalku mengatakan bahwa bagian tubuh pohon pisang yang tersisa ini masih penuh air dan nutrisi alam sehingga masih bisa bermanfaat ketimbang sekedar jadi sampah tiada guna. Selain untuk kembali ke tanah sembari bisa bermanfaat bagi segenap tumbuhan yang hidup. Selanjutnya kutaburkan cacakan gedebog ini di atas tanah menyelimuti anakan-anakan pisang. Setelah beberapa hari, kulihat ternyata mereka trubus, bagaikan bayi-bayi imut dan lucu berseri-seri. Kunikmati senyum mereka sore ini di antara deras keringat di sekujur tubuh sembari menyeruput secangkir kopi.
***
MJA Nashir, Kadilangu Batang 9 Juli 2021
Komentar
Posting Komentar