SUARA BATU & PUISI - SENDRATARIMUSIKPUISI “SAELENDRA”

Malam 31 Desember 2019, lima menit sebelum pukul 00, repertoar sendratarimusikpuisi ini akhirnya selesai dipentaskan di panggung acara Malam Tahun Baru di alun-alun kota Batang. Pementasan berjalan baik dan lancar, meski hujan tiada reda. Saat pementasan, dari atas panggung, di tengah membaca puisi dan memainkan beberapa alat musik aku masih sempat sesekali menyaksikan orang-orang memadati alun-alun Batang di area penonton. Kurasakan mereka demikian antusias menyimak pementasan kami. Pementasan kolosal dengan 32 orang pemain di atas panggung yang memainkan empat elemen seni yang saling berinteraksi; drama, tari, musik dan puisi. Seni pencak silat yang terlibat di elemen drama juga menjadi kekuatan, sebagaimana gamelan tradisi turut andil dalam pementasan ini. Kami, segenap tim sendratarimusikpuisi bersyukur atas ‘kehendak alam’ yang justru meletakkan pementasan ini sebagai puncak dari acara malam tahun baru di kota kami ini.


Sebagai sutradara dari karya sendratarimusikpuisi, aku pun bersyukur bahwasanya proses yang telah kami jalani selama dua bulan akhirnya bisa terwujud dengan baik. Meskipun ada beberapa kekurangan di sana-sini karena situasi hujan dan kerumitan dalam soal berbagi panggung bersama dengan grup-grup yang tampil sebelum dan sesudah kami.


Karya yang berawal dari sebuah puisi yang kutulis dua tahun silam, September 2017, berjudul “Saelendra” yang akhirnya menjelma sebagai sendratarimusikpuisi ini bagaimanapun sesungguhnya adalah proses panjang. Proses yang tentu saja memiliki latarbelakang mendalam, bahkan sebelum puisi itu sendiri dilahirkan.
Sehari setelah pentas, ketika membuka laci meja di kamar, kusempat dikejutkan oleh arsip pribadiku, sebuah lukisan cat air yang pernah kubuat setahun sebelum puisi “Saelendra” itu kutulis. Pada lukisan itu tertera tanggal 010316, waktu di mana aku sedang mencoba kembali melukis dengan cat air, setelah puluhan tahun tidak melakukannya. Tergerak melukis kembali karena hadiah cat air beserta kertas gambar berkwalitas baik dari Sandra Niessen di Belanda. Lukisan itu menggambarkan sebuah prasasti tentang Saelendra, Prasasti Sojomerto terhampar di landscape alam terbuka bercakrawala laut dengan kapal layar yang bergerak dan di antara garis laut dan langit tampak pegunungan. Dan yang menarik lagi, di antara prasasti Sojomerto itu ada para penari yang menari dan pesilat sedang melakukan gerakan-gerakan seni pencak silat. Gambaran yang kurang lebih sama, serupa, jika kita menyaksikan pementasan sendratarimusikpuisi yang kami pentaskan di panggung malam tahun baru di alun-alun Batang itu. Lukisan itu kuberi judul “The Spirit of Saelendra”.
Lukisan “The Spirit of Saelendra”, kelahirannya kudedikasikan untuk generasi muda desa Sojomerto, kampung di mana prasasti itu ada hingga kini. Pada generasi muda Sojomerto ini, aku dan teman-teman Batang Heritage sangat salut dan bangga, sejak 2014 kami berkegiatan bersama mereka. Sejak itu anak-anak muda Sojomerto yang dipelopori pemuda GaLy AN Abdul Nasir tergerak membentuk sanggar seni bernama Jati Mranjak sebagai wadah ekspresi seni bagi generasi muda. Keterharuanku, juga teman-teman Batang Heritage, menjadi nyata senyata-nyatanya, ketika kami mengadakan acara budaya, diskusi kebudayaan bertajuk “Warisan Sejarah Budaya – Kebangkitan Kesadaran Masyarakat” yang kami gelar di Omah Tani, Bandar 24 Januari 2016 dengan mengumpulkan perwakilan-perwakilan dari masing-masing tempat yang menjadi jejak-jejak arkeologis Saelendra, selain perwakilan dari Balai Arkeologi, Sofwan Noerwidi dan sosok pelopor gerakan Pulang Kampung, Sandra Niessen dari Belanda, Sanggar Jati Mranjak Sojomerto tampil dengan seni tari dan pencak silat di tengah event ini. https://www.facebook.com/notes/mja-nashir/warisan-saelendra/10153842770327856/ Meskipun dua seni tradisi itu ditampilkan secara sendiri-sendiri, namun gambaran itu masih terus nancap di kepalaku, hingga akhirnya aku menyatukan keduanya di lukisanku di dua bulan sesudah event itu berlalu. Aku yakin pada jalan alam, bahwa leluhur mewariskan ‘genetika’ dengan cara yang unik, yang terkadang berselubung kabut misteri. Jika generasi para penerus wangsa Saelendra di Borobudur dan sekitarnya, meskipun secara ‘keagamaan formal’ nya telah lama berubah, namun di antara mereka masih banyak yang ahli memahat batu-batu. Sedangkan pada generasi penerus Saelendra di Sojomerto berbeda lagi manifestasi spirit perjalanan genetikanya ini. Menjelma menjadi seni tradisi, seperti halnya yang dibangkitkan lagi oleh Sanggar Jati Mranjak, yaitu seni tari dan pencak silat ini. Itulah akhirnya lukisan itu kuberi judul, “The Spirit of Saelendra”.
Setahun kemudian aku menulis puisi “Saelendra”, untuk melengkapi rencana buku kumpulan puisiku berjudul “Bumi, Bunyi, Sunyi”. Puisi “Saelendra” berisi gambaran kehidupan di antara laut dan gunung di balik prasasti Sojomerto, kehidupan pada masa Saelendra, dan tentang isi prasasti itu. Lahir dari proses bertahun-tahun berkutat pada hasil-hasil penelitian tentang jejak-jejak Saelendra di Batang, baik yang telah dikerjakan Balai Arkeologi Yogyakarta; maupun riset-riset Arkenas era 70-an, terutama catatan-catatan penting Prof. Boechari yang telah menyingkap prasasti Sojomerto; hasil mendalami tulisan-tulisan para ahli, seperti George Coedes tentang keterhubungan kearkeologisan Asia Tenggara dan W.P. Groeneveldt tentang berita-berita China; juga dari hasil lacak riset-riset atas peristiwa-peristiwa alam yang terjadi di bumi sebelum abad 7 masehi. Dan yang lebih penting lagi dari pengalaman-pengalaman langsung di antara atmosfer alam terbuka di situs-situs arkeologis yang merupakan jejak-jejak Saelendra saat bersama komunitas Batang Heritage kami blusukan ke mana-mana. Semua itu menggerakkan jari-jemariku menuliskan puisi Saelendra.
Meskipun telah banyak riset di wilayah Batang sejak ditemukannya Prasasti Sojomerto pada tahun 1963, khususnya riset-riset tim Arkenas era 70-an yang menjadi policy pemerintahan pusat secara langsung dan intens, tapi kemudian sesudah era itu tak ada kelanjutan lagi yang serupa dan intens, kecuali riset-riset Balai Arkeologi Yogyakarta dan tim lembaga riset luar negeri, EFEO (Perancis). Sosok-sosok tekun seperti Prof. Boechari di bidang arkeologi memang telah lama tiada, namun beliau banyak meninggalkan tulisan-tulisan hasil risetnya yang sangat penting. Sering kuberfikir kenapa ini tidak dilanjutkan dengan riset-riset lanjutan dan terutama ekskavasi-ekskavasi atas situs-situs arkeologi yang tersebar di wilayah Batang yang ditangani langsung atas kepedulian pemerintah pusat secara mendalam yang bersinergi dengan semua fihak berkompeten dan masyarakat. Kita masyarakat Batang selama ini terkesan hanya menjadi penonton, itu pun jika kita tahu bahwa sedang ada riset dari lembaga luar negeri, namun tidak pernah tahu hasil risetnya isinya apa. Akhirnya semua itu terkesan tidak dalam kesatuan yang utuh, cenderung sporadis. Situasi sporadis macam itu justru rawan dan mengerikan, lantaran bisa memunculkan fihak-fihak yang mengatasnamakan pelestarian kepurbakalaan, namun sesungguhnya sebaliknya untuk merusak atau menggelapkan. Wilayah ini semestinya memerlukan keseriusan utuh dan prima. Barangkali karena hal-hal macam itu pula tentang Saelendra hingga sekarang belum masuk menjadi sejarah resmi secara nasional. Entah siapa yang mau berserius, bercapek-capek mengerjakan.
Sementara jika hanya menunggu terbitnya suatu kesadaran barangkali serupa “waiting for Godot”, maka bagiku pribadi tentang Saelendra lebih baik kuterus bergulir, mengalir dan terus menuliskannya, salah satunya lewat medium puisi. Jika Saelendra adalah misteri, toh puisi juga misteri. Jika jejak yang paling nyata dan utama dari Saelendra di Batang adalah prasasti, maka prasasti bagiku juga adalah puisi. Maka kusambut suara leluhur di prasasti, batu puisi dengan puisi!

Kubuka kembali puisiku itu di Januari 2019, sepulangku dari New Delhi, India pada saat sahabatku gitaris Doddy B. Priambodo bersama komunitas Atap Alis (Baja Panggabean, ‘Bali’ Praza Yoditama, Rony Cardo Panjaitan) datang ke rumahku malam-malam. Saat itu kami tengah menyiapkan event “Nyadran Gunung” di Silurah Batang. Doddy B. Priambodo oleh Batang Heritage diundang sebagai salah satu pengisi acara musik di rangkaian event tersebut, sedangkan Atap Alis untuk workshop seni bagi anak-anak. Malam itu dengan Doddy, berdua kami larut dalam puisi Saelendra, selain satu lagi puisiku “Pada Sebuah Dunia yang Hilang”. Aku membaca puisiku itu dan Doddy mencipta musik ilustrasi yang dramatik dengan gitarnya. Kami begitu bersemangat dan hanyut ke dalam alam yang entah di mana, yang bagi kami berdua merasa itulah ‘alam Saelendra’. Ketika sedang asyik memetik senar-senar gitarnya sebelum masuk puisi untuk dibaca dia tiba-tiba dengan semangat berseloroh padaku, “Ambil harmonikamu Mas. Isi bagian awal ini dengan permainan harmonika. Bebaskan saja memainkannya. Kita sahut-sahutan, saling improvisasi, sebelum Mas Nashir baca puisi.” Aku kenal sahabatku ini, jika telah masuk betul pada situasi macam itu, alangkah jeniusnya dia. Tiap perpindahan bait puisi, dan pada tiap kalimat penting yang memiliki suasana tertentu ia mampu memberi warna tersendiri dari petikan dan lengkingan gitarnya. Akhirnya puisi “Saelendra” yang telah menjadi musikpuisi ini kami pentaskan di atas panggung malam seni di atas sungai di Silurah bersama “Pada Sebuah Dunia yang Hilang”. Malam itu kami menamai grup kecil ini, “Punden” sesuai situs terdekat (Punden Berundak) di sebelah kami menginap dan berlatih musik sebelum pentas. Ya, kami, Punden, hanyalah grup kecil, sederhana, dengan formasi Doddy, aku dan Bali. Dan karya musikpuisi “Saelendra”, oleh karena kami tidak sempat merekam langsung audionya saat pentas di atas sungai Silurah itu, akhirnya kami merekamnya kembali secara khusus, mereka ulang lagi dengan cita rasa pementasan kami malam itu. Rekaman ini diprakarsai dua sahabat kami Dimas Samid ElDiablo dan Susilo di rumah Dimas beberapa hari setelah pentas di Silurah.
Malam, di awal bulan November 2019, aku dan komunitas Batang Heritage diundang untuk menghadiri pertemuan yang diadakan Disparpora Batang, yang juga mengundang beberapa seniman, pegiat budaya, dan beberapa komunitas yang ada di Batang. Pertemuan untuk merancang event malam tahun baru. Pertemuan ini hal yang positif, didasari semangat untuk menghadirkan acara yang berisi, bermakna, dan unik untuk menyambut tahun baru, yang bukan sekedar hiburan atau keramaian semata. Ketika dimintai pendapat, aku menyarankan agar masing-masing seniman atau perwakilan komunitas bisa mengusulkan mau bikin apa/pentas apa. Kutahu sebenarnya dari beberapa seniman dan perwakilan komunitas, telah memiliki atau berkeinginan mementaskan karyanya yang telah ada. Malam itu aku pulang ‘digentayangi’ ide tentang Sendratarimusikpuisi “Saelendra” di kepalaku. Lantaran semua itu masih dalam kepala, kuharus segera menurunkannya, agar orang lain mudah menangkap apa sesungguhnya. Berhari-hari aku hanyut menyusun gambar-gambar dan video yang mewakili 4 elemen; drama, tari, musik dan puisi dengan rekaman musikpuisi Punden, “Saelendra”. Pada pertemuan selanjutnya dengan proyektor aku mempresentasikannya. Saat itu kubelum tahu persis dengan siapa saja Sendratarimusikpuisi “Saelendra” akan menjadi nyata sebagai sebuah repertoar. Dalam bayanganku, jelas secara musikal adalah dengan Punden karena musikpuisi “Saelendra” yang lahir bersama Punden yang menjadi backbone dari sendratarimusikpuisi ini. Sedangkan untuk elemen drama (teater) dan tari kupasrahkan pada kehendak alam.
Orang pertama yang kuhubungi untuk bisa terlibat dalam proses repertoar ini sahabatku, Galyan Abdul Nasir. Rasanya aku tidak bisa untuk tidak menghubunginya, karena dari hatiku bahwa anak-anak muda Sojomerto lah yang musti terlibat dalam proses karya ini. Tapi sayang, Galyan ternyata kini telah berada di Jakarta, berjuang mencari nafkah. Sementara sepeninggalnya, Sanggar Jati Mranjak dalam posisi belum aktif lagi. Jadi jelas tanpa Galyan dan dengan kondisi Jati Mranjak terkini akan sulit untuk diajak memproses ini, baik untuk tari maupun teaternya. Belum lagi waktu yang pendek dan jarak Sojomerto yang lumayan jauh. Syukur, Mbak Adilah Endarini, penari yang pernah berproses bersama Batang Heritage di event Nyadran Gunung 2019 akhirnya bisa dihubungi dan sanggup untuk terlibat dalam proses karya ini bersama sanggar tarinya, Jagadhita.
Sedangkan untuk elemen musik, terfikir olehku untuk menambahkan gamelan yang akan berkolaborasi dengan Punden. Untuk hal ini kupilih yang benar-benar tradisional, yaitu para seniman gamelan yang keahliannya merupakan hasil belajar dari tradisi di kampung secara turun temurun, bukan dari sekolahan. Kuyakin mereka bisa diajak berkolaborasi menciptakan bersama hal yang baru tanpa harus meninggalkan cara dan cita rasa mereka dalam bermusik. Kebetulan di Batang, kukenal dekat dua komunitas gamelan tradisional macam ini, satu di Silurah yang tiap tahunnya memainkan gamelan untuk event ritual Nyadran Gunung dan satu lagi komunitas seni sintren Siwatu. Setelah kupertimbangkan dengan teman-teman Batang Heritage akhirnya kami memilih para penggamel dari komunitas sintren Siwatu, mengingat yang terdekat secara tempat. Mereka ternyata bersemangat untuk terlibat dalam proses ini. Bagi kami, para seniman tradisional seperti mereka adalah orang-orang hebat, para pejuang budaya yang sesungguhnya, dan mereka berhak untuk mendapat penghargaan dan tempat berpentas yang layak, selayaknya para seniman modern/kontemporer.
Untuk element teater, kuingat saudara-saudara kami, Batang We, sebuah komunitas yang peduli pada warisan sejarah, tradisi, budaya yang kerap kali dan akrab dengan Batang Heritage pasti mereka sanggup untuk berproses bersama atas karya ini. Benar, berapa menit setelah kutelpon sesepuh Batang We, Mas Leonardo Dekat-priyo dan Mas Tikwo, serombongan Batang We hadir ke rumahku malam itu juga. Aku selalu kagum pada semangat dan pesuduluran mereka yang demikian kuat. Kuperlihatkan video presentasiku kepada mereka. Mereka semangat untuk terlibat.
Bersama kami ke situs prasasti Sojomerto untuk sowan dan melakukan silakrama menembus alam Saelendra, agar Sang Pencipta dan semesta melancarkan proses Sendratarimusikpuisi ini. Sore itu kami – aku, Mas Agus, Mas Priyo, Mas Tikwo, Mas Casono dan Mas Arief – sampai di situs prasasti. Tak lama kemudian Mas Muttaqin – anggota Batang We yang rumahnya di Tersono – muncul, memarkir motornya dan bilang padaku, “Mbah, ini pertama kali aku kemari ke prasasti ini.” Seketika kurespon, “Loh, padahal di antara kita semua justru kamu yang rumahnya terdekat dengan prasasti ini.” Dia tersenyum malu, “Iya, Mbah.” Saat kami semua melingkar di antara batu prasasti Sojomerto, kubilang

pada semuanya, bahwa dia, Mas Muttaqin inilah yang akan memerankan Saelendra. Dia terkejut atas pilihanku ini. Tapi aku yakin padanya. Dalam lingkaran bersama ini, sejenak kami bersilakrama dan berdoa, dipimpin Mas Priyo. Malam dilanjutkan selamatan sederhana di rumahku, selamatan untuk membuka proses sendratarimusikpuisi ini. Dua bulan kami intens berlatih, seminggu dua kali. Termasuk dengan tim tari, dan latihan bersama dengan Punden dan tim gamelan.
Demikian karya sendratarimusikpuisi Saelendra yang ternyata melewati proses panjang, menempuh jalan alam ini.

MJA Nashir, 4 Januari 2020.
(dari note fb saya https://www.facebook.com/notes/mja-nashir/sendratarimusikpuisi-saelendra-suara-batu-puisi/10158034587727856/ )

Video pementasan sendratarimusikpuisi "Saelendra":

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KEMBALI KE MUSEUM BATIK, MERAYAKAN KEINDONESIAAN

MENGINGAT KEMBALI MAS HELMAN (ALMARHUM BAMBANG SOEHELMAN)